Jumat, 24 Juni 2011

Tanah Pasundan di Negeri Anoa


      Memiliki kesempatan obserfasi di sebuah desa, perasan saya seperti kembali pulang kampong berkumpul bersama keluarga dan kerabat. Suasana dan perasaan mengajak saya untuk secepatnya terjun ke tanah dan udara di sana. Hari itu Rabu 15 Desember 2010. Saya memutuskan untuk melakukan perjalanan menuju sebuah desa yang masih terbilang alami, ditemani oleh sahabat saya. Pemandangan yang menghijau membuat hati dan pikiran menjadi damai. Seperti itu kata orang ketika menginjakkan kaki di desa itu. Sebuah desa yang terletak di sebelah utara pulau Sulawesi Tenggara ini berbeda dengan desa-desa lainnya di Sulawesi Tenggara. Awalnya saya mendengar ada orang Sunda di Sulawesi Tenggara ini terasa aneh karena, saya belum pernah mendengar sebelumnya ada sebuah desa yang keseluruhan berisi orang Sunda. Tetapi itu memang ada.  Di kecamatan Ranomeeto kelurahan Ranomeeto ini bermukin sekitar 350 kepala keluarga, yang hampir  keseluruhannya berbahasa sunda.
     Sebagai orang Sunda, saya merasa senang ternyata banyak saudara-saudara saya urang Bandung bermukim di Negeri Anoa ini. Desa ini bernama Sindangkasih, yang secara harfiah terdiri dari dua kata yakni “sindang” yang artinya singgah, dan “kasih” yang artinya memberi. Jadi sindangkasih sering diartikan dengan “singgah memberi”. Mengapa demikian? Mengapa tidak dikatakan demikian, pemandangan yang alami dan suasana kampung yang damai, membuat sesuatu yang pengap menjadi segar. Hal itulah yang diberikan oleh desa ini. Sebuah obat bagi jiwa-jiwa yang sesak, mungkin bisa dikatakan demikain. Satu-satunya trasmigrasi yang paling dekat dengan kota di Sulawesi Tenggara ini,  yakni Desa Sindangkasih, yang berbatas dengan desa Amoetosiama di sebelah selatan, desa Jati Bali sebelah timur, desa Lameuru sebelah utara, dan desa Rambu-rambu Jaya sebelah barat. Desa Sindangkasih ini memiliki jarak hanya 27 km dari pusat kota Kendari, jika menempuh perjalan hanya sekitar 30 menit. Di sepanjang perjalanan pun mata kita akan dimanjakan dengan pemandangan yang menghijau sejuk, rasa-rasanya seperti berada disebuah hutan lindung yang begitu menghijau.
     Untuk pertama kalinya kaki ini menginjak tanah Sindangkasih, sungguh merip dengan perkampungan di Ciamis, Rasa araraneh kata orang Sunda . Pohon-pohon yang masih rimbun, embun-embun pun masih betah menenpel di pohon tersebut. Udara segar mengusir segala kepenatan yang sempat mendarat dipundak selama dalam perjalan. Rasanya seperti berada di kampung halaman. “Selamat datang di kampung terang Sindangkasih” seperti itulah tertulis di pintu gerbang masuk desa ini. Awalnya saya bingung mengapa disebut kampung terang,  Apa mungkin kampung ini selalu terang? Atau hanya sebuah unggkapan?  Akhirnya automatik Beat hasil pinjaman saya dari teman pun berhasil memasuki desa Sindangkasih. Sungguh mempesona, udara mengipas padangan hingga mata ini tak bosan memandang. “Memang benar apa yang orang-orang katakan, kampung ini memang begitu alami”. Dalam hati saya pun membatin. 
     Bagi kebanyakan orang dari kampung mungkin melihat hal ini biasa-biasa saja. Namun yang menarik bagi saya desa ini berada sangat dekat dengan perkotaan. Yang tak kalah menariknya lagi, hampir 100% penghuni kampung ini menggunakan bahasa Sunda. Meski ada suku-suku lain yang berdomisili di desa ini, karena mereka menikah dengan masyarakat disini namun mereka berusaha untuk  bisa menguasai bahasa sunda tersebut. saya pun berpikir, luar biasa mereka masih mampu mempertahankan bahasa daerah, meski di daerah trasmigrasi yang kebanyakkan bahasa telah bercampur. mana mungkin orang Sunda bisa meninggalkan kampungnya sejauh ini. Seperti halnya ayah saya yang mau tidak mau harus meninggalakan kampung halaman demi mengemban tugasnya.
Setelah saya berhasil memasuki desa ini, kamudian saya langsung mencari sebuah alamat yang dikirim dari ibunda saya lewat sebuah pesan singkat. Kebetulan di kampung saya ada orang Sindangkasih yang menetap di kampong saya, secara tidak langsung dia tahu dimana letak  rumah Pak desa. Perlahan namun pasti, kendaraan yang saya tumpangi melaju menyusuri jalan yang berada di hadapan saya. pandangan kami terhenti pada sebuah balai desa ”Balai Pertemuan Sugema” seperti itulah tertulis di sana. Di sebrang jalan kami menemukan sebuah sekolah dasar tempat anak-anak setempat menimba ilmu dan pengetahuan. Kemudian perjalanan kami lanjutkan terus menyusuri jalan         tanpa ada rasa takut tersesat. Langit cerah hari itu menemani perjalan saya bersama sahabat. Saya menemui seseorang yang barada dipinggir jalan guna menanyakan alamat tujuan, yakni rumah Pak desa.
Setelah saya dapatkan peta menuju rumah Pak desa, kami pun bergegas menuju ke tempat tersebut. Dari kejauhan terlihat hamparan sawah yang menghijau berada di ujung perkampungan. Keindahan yang Tuhan berikan memang tak ada batasnya, mata ini benar-benar terperangkap olehnya, bibir pun sejenak membisu melihat semuanya. Penataan di desa Sindangkasih ini memang sangat rapih dan khas. Hanya berjalan kaki beberapa meter saja dari ujung kampung kita bisa menikmati indahnya persawahan. Namun terlebih dahulu kami memutuskan untuk menemui Pak desa sebelum melihat hal-hal menarik lainnya yang terkandung di desa ini. Kepala desa di kampung ini bernama Pak Kardiman. Sebuah rumah dengan tanaman coklat di halaman, sepertim itulah rumah Pak desa. 
Pria yang sudah dua priode menjabat sebagai kepela desa ini menerangkan bahwa, pada tahun 1968 jumlah penduduk Sindangkasih masih sekitar 50 kepala keluarga, namun sekarang jumlah penduduknya sudah mencapai 1.538 jiwa, yang terdiri dari 786 laki-laki dan 754 perempuan. Semua pertanyaan yang menggrayangi pikiran saya pun saya lontarkan kepada Pak Kardiman. “Perkampungan ini berawal dari para pendahulu kami yang menamai daerah kompleks orang Sunda ini dengan nama sindangkasih. Memang nama-nama di Sulawesi Tenggara ini kebanyakan berbau Jepang seperti, Ranomeeto, boro-boro, pomalaa dan lain sebagainya. Konon, leluhur penduduk asli orang Tolaki adalah orang Jepang” jelas Pak Kardiman. Kemudian hal yang membuat mereka bertrasmigrasi ke daerah ini adalah, pemerintah mereka mempercayakan sawah, kebun, dan ladang untuk di urus. Oleh karena itu, kebanyakan warga di sini berprofesi sebagai petani. Meski pun ada yang berprofesi sebagai juragan angkot atau pete-pete, tetapi hanya beberapa orang saja.
Kebiasan-kebiasan yang sering dilakukan di desa ini cukup menarik. Masyarakat di sini memiliki kegiatan yang bukan hanya bisa menghibur diri sendiri, tetapi bisa juga menghibur orang lain. Kebiasaan-kebiasan yang diambil dari budaya sunda itu seperti Degung. Degung ini merupakan budaya sunda yang masih di bawa trasmigrasi. Degung ini bersifat menghibur, hampir mirip dengan wayang orang yang merupakan budaya jawa. Perbedaannya terletak pada bahasa.  Jika wayang orang dimainkan dengan menggunakan bahasa jawa halus, degung ini menggunakan bahasa sunda sehari-hari sebab, bahasa sehari-hari lebih komunikatif disbanding bahasa halus. Selain kebudayaan dugung, masih ada kebiasan yang dilakukan di desa ini, yakni pencak silat dan adat pernikahan. Pencak silat merupakan ilmu beladiri asli milik Indonesia yang berasal dari Jawa Barat. Namun sayangnya saya tidak dapat langsung menyaksikan aksi mereka dalam berlatih. Pencak silat di desa ini kebanyakan diikuti oleh anak-anak yang masih palajar. Mereka biasa berlatih pada malam minggu. 
Kebiasaan-kebiasaan yang sering mereka lakukan tersebut, tidak hanya dimainkan di desanya, akan tetapi kebudayaan mereka cukup terkenal sampai desa-desa tetangga bahkan kota. Terkadang ada undangan yang meminta degung untuk hadir membawa hiburan di acara-acara, seperti pernikahan, pemilihan kepala desa, dan masih banyak lainnya. 
Adat pernikahan sunda pun masih melekat pada masyarat Sindangkasih ini, walau tidak secara keseluruhan dilakukan. Adapun adat pernikahan sunda yang sering dilakukan seperti, nuendeun omong (orang tua pria bermaksud mempersunting seorang gadis). Lamaran (melamar), tunangan, (tunangan ini dilakukan dengan bertukar tali pinggang berwarna pelangi yang sering desebut buebuer tamueh), seserahan (tujuh hari sebelum pernikahan calon mempelai lelaki membawa pakaian dan barang-barang dapur). Upacara pernikahan terdiri dari, menjemput mempelai pria, ngabageakeun (memberi kalung bunga melati), akad nikah, sungkeman (meminta maaf kepada kedua orang tua), saweran,(kedua mempelai disiram dengan beras kuning yang dicampur dengan uang koin). Nincak endog (pengantin pria menginjak telur sampai pecah, kemudian pengantin wanita memcuci kakinya) hal ini dilakukan agar isrti patuh terhadap suami.  Rangkaian adat pernikahan sunda itulah yang masih dilakukan oleh masyarakat Sindangkasih. Sementara rangkaian yang lain banyak yang ditinggalkan, meski pun demikain tidak mengurangi kesakralan ritual tersebut. Adat pernikahan tersebut dilakukan jika kedua mempelai sama-sama latar belakang Sunda. Jika salah satu mempelai bukan berasal dari golongan sunda, biasanya adat ritual tersebut tidak digunakan, tetapi menggunakan adat yang sesuai dengan suku mereka, atau pun sesuai kesepakatan keluarga. Seperti itilah Pak Kardiman menjelaskan panjang lebar.
Tidak terasa waktu begitu cepat berlalu, sebelum berpamitan ayah empat orang anak ini pun menyampaikan harapan untuk kemajuan desanya, yakni fasilitas pendidikan dapat diperbarui lagi. Sebab, fasilitas pendidikan di desa Sindangkasih ini masih terbilang kurang diperhatiakan. Akhirnya tiba saatnya kaki ini melangkang meninggalkan desa nan ramah seramah sunyum yang terkurung di setiap masyarakatnya.(am)

0 komentar: