Kamis, 30 Juni 2011

Hingga Akhir Waktu


     Rintik hujan kembali menetes di hari ke lima minggu ke tiga di bulan Juni 2010. Alunan suara angin yang bernyanyi menyapu wajahku, kini tak hadir lagi. Bintang yang menari, bernyanyi memuji indah malam kini tak hadir lagi. Sinar rembulan yang sumringah menyambut malam,  kini terkulum di gumpalan awan yang hitam. 
Seperti biasa, mala mini kulalui dengan kesedihan yang belum juga luntur di wajahku. Hati ini seakan mati, tidak dapat bernyanyi walau hanya sesaat. Hari-hari kulalui tanpa orang yang berarti, semua mati ditelan bumi. Kebahagiaanku sirna, terbawa olehnya kekasih hati yang kini berada di sisi-Nya. Sungguh tak bisa kumusnahkan semua kepahitan yang melandaku.
»»  Baca selanjutnya...

Jumat, 24 Juni 2011

Flek Hitam di Wajah Pendidikan

     Pendidikan memang seharusnya kita enyam sedari dini. Hal itu dilakukan agar kita dapat tuntunan dan pegangan untuk menghadapi kehidupan di masa globalisasi ini, dan dapat membawa kita menuju hal-hal yang positif. Namun kenyatan yang sering kita dengar dan saksikan, justru pendidikan yang menyesatkan. Mengapa demikian? Ya karena dari awal pendidikan yang kita dapat, banyak mencerminkan kebobrokan. Salah satu contoh, mulai kita masuk sekolah sampai perguruan tinggi sering kita saksikan tawar menawarharga. Siapa yang memiliki uang atau kedudukan tinggi, maka dialah yang berhak mendapat pendidikan yang bermutu. Bagaimana pendidikan kita akan maju jika dipupuk dengan   hal-hal    demikian?  Justru  akan melahirkan penerus bangsa yang bobrok,  dan para koruptor yang berpendidikan yang berkedok pahlawan. Berbagai cara dilakukan demi pendidikan kita. Mulai dari menganti aparat birokrat, orde pemerintahan bahkan mengubah kurikulum. Sering kali kurikulum pendidikan di Negara kita ini diubah-ubah, demi mendapatkan yang terbaik untuk penerus bangsa.  Tetapi apa kenyataan yang terjadi? Justru sebaliknya. Semakin hari kekerasan, pelecehan dan semua hal negatif banyak dilakukan anak-anak bangsa. Ya, memang tidak bisa dipungkiri, ada sebagian orang yang justru berusaha mengharumkan dan membanggakan bangsa kita.tapi hanya beberapa persen saja, lebih banyak yang merusak. 
    Hal demikian kembali  kepada pendidikan. Selain kualitas pendidikan yang kurang baik, faktor ekonomi menjadi yang pertama yang menduduki rengking dalam Negara kita. Banyak masyarakat yang tidak mampu mengenyam pendidikan karena faktor ekonomi tersebut. Katanya, ada dana BOS untuk wajib pendidikan 9 tahun sekolah gratis, tapi mengapa masih banyak anak bangsa yang tidak sekolah? Kebanyakan dari mereka menjawab, tidak mampu dan tidak da biaya. Mereka justru lebih memilih berhenti sekolah dan membantu orang tuanya untuk tetap bisa bertahan hidup. Hal ini sangat memprihatinkan, anak-anak yang seharusnya bersekolah, justru mereka harus berjuang dijalanan demi sesuap nasi. Sungguh memilukan. Sebenarnya siapa yang salah? Daritahun-ketahun permasalah pendidikan tak pernah terslesaikan. Sering kali pemerintah menomerduakan pendidikan. Seharusnya justru pendidikan yang lebih diutamakan, agar tidak terjadi hal-hal di atas. Namun ironisnya, sampai saat ini belum ada jawaban. bagaimana pemerintah menangani hal yang sangat sakral ini.Sementara masih banyak anak usia SD putus sekolah atau masih belum terjangkau sama sekali oleh pelayanan pendidikan. Hal demikian seharusnya menjadi pikiran utama para perintah kita, bagaimana caranya agar semua anak-anak bangsa bersekolah dan dapat merasakan masa kanak-kanak yang menyenangkan.Dari hasil penelitian, sekitar 10% angka buta huruf berasal dari penduduk Indonesia yang berusia 10 tahun ke atas. Kemampuan membaca untuk tingkat SD yang dilaksanakan oleh organisasi Internasional Education Achievement (IEA) Menunjukan mereka berada pada urutan ke-34 dari 38 negara.  Jika kita kembali pada tujuan pendidikan yang termuat dalam Undang-undang Dasar 1945, seharusnya kita bisa menuntut hak pendidikan yang adil dan merata.

Tujuan pendidikanUU No 2 Tahun 1985, yaitu “mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia yang seutuhnya yaitu beriman dan bertakwa pada Tuhan Yang maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap, dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan bangsa”.  Dalam Undang-undang pun telah dijelaskan bahwa kita anak bangsa berhak mendapat kecerdasan. Tapi seperti inilah wajah pendidikan kita. Melihat realitas ini, sama dengan menangis. Namun jika kita diam tanpa melakukan apapun akan semakin membuat parah keadaan. Janganlah kita selalu mengejar ketinggalan, tapi kita kejar kemajuan, dengan hal-hal yang bermanfaat, bukan justru memperebutkan kekuasan atau berbuat hal-hal yang negative sehingga kita lalai akan pendidikan. (Am.)




»»  Baca selanjutnya...

Puisi-puisi Amanah


Cerita hitam
22.30…
Sebuah sketsa hadir dengan wajah abu-abu
Setumpuk cerita pun kembali menyatu
Menari dan mengelabuhi pikiran yang tenang di ujung malam
Senyumku terkulum di pertengahan jalan menuju sadar
Ingin kupisahkan pertengkaran minyak dan air
Yang tak pernah bisa menyatu
Namun semua sia-sia
Kulempar dengki bersama krikil benci 
Ke jurang neraka yang tak pernah mati
Tapi,
Harap-harap cemas yang telah menghias hati
Kini…
Kucuba melukis senyum di wajah yang mati
Berharap mujizat menerpa hariku yang sepi


Hilang
Awan senja mulai meraba
Tinggalkan puing kenangan
Aku remuk tak berwujud
Hingga angin tak mengenaliku
Kuterbang bersama puing ragaku
Terus, terus…
Jauh, jauh…
Entah dimana
Kini aku hilang
Sirna bersama dedebuan
Okteber  2009



Singgasana Kata
Sudut kamar yang bisu
Aku merenung
Biarkan imajinasi dan kata berkeliaran
Mencari persinggahan
Butir gerimis yang jatuh di helai daun rumput
Beriku inspirasi yang sukar tuk dijemput
Dering pesan yang berteriak
Musnahkan kata dalam kotak
Huruf perhuruf kurajut
Frasa demi frasa kusambut
Hingga klausa terbentuk
Tapi…
Kalimat tak terwujud
Hanya menjadi sebuah angan dalam goa fikirku
dan tak pernah mencair menjadi sungai-sungai
yang mengalir menuju singgasana kata
Mei  2010



Abu-abu
Di kerontang mala mini
Hadir wajah dengan sketsa yang abu-abu
Kucoba merangkai dengan ingatan yang suram
Sungguh sukar kuterapkan
Semestinya ini tak terjadi
Senyum mengembang di manisnya perjumpaan
Kekaguman hadir dalam remang pertemuan
Ingin kuungkapkan, namun tak mungkin
Ini tak abadi
Cinta yang terlarang
Juni  2010





»»  Baca selanjutnya...

Si Uno


   Rintik hujan kembali menetes di hari ke-5 minggu ke-3 di bulan juni 2010.alunan suara angin yang beryanyi menyapu wajahku, kini tak hadir lagi. Bintang yang menari memuji indah malam kini tak hadir lagi. Sinar rembulan yang sumringah menyambut malam, kini terkulum di gumpalan awan yang hitam.
Uuuh… mata ini lelah sekali, memandang hari yang penuh misteri. Ingin kubernyanyi tuk hilangkan sejenak lelah yang mengalun di hari-hariku. Keesokan harinya, kuayunklan langkah menuju sebuah gubug yang mencoba berdiri di atas tanah yang berserakan sampah, sungguh tak layak. Lingkungan yang kumuh buatku iba dengan pemilik rumah mungil itu. Atap yang membatas pandangannya, ia ambil dari seng-seng bekas yang ia temukan di tempat pembuangan. Hanya terdapat satu ruangan di dalamnya, di situlah ia membaringkan segala lelah, di situ pula ia tanamkan kekuatan hidupnya.
Aku ingin mengunjungi si Uno yang baru saja kukenal si terminal. Dengan segala kekuatan yang ia miliki ia mencoba mengais rejeki, walau dengan keadaan yang memprihatinkan. akibat Kecelakaan maut itulaj ia harus rela kehilangan tangan kirinya.  dengan satu tangan itupun ia mencoba tegar menghadapi hidup. Perjalananku cukup melelahkan, tempat tinggal Uno lumayan jauh. Sepanjang perjalan aku teringat kisah hidupnya.
***
Saat aku menunggu mila sahabatku di terminal, aku terkesima melihat seseorang dengan tegarnya mencoba menggendong beban yang sepertinya tak seharusnya ia lakukan. Menjadi kuli-kuli pengangkat barang yang tak pernah memiliki gaji, hanya keihlasan yang ia sering dapatkan, itulah pekerjaannya. Cuaca hari itu cukup panas, tak ada satu pun wan yang menghalanh sinar matahari jatuh ke bumi.
Aku melihat si Uno terpongoh-pongoh dengan beban yang ia pikul di pundaknya. Mata ini tak pernah beranjak dari arahnya, aku merasa malu dengan keadaanku yang lebih sempurna darinya, memiliki fisik yang lengkap dan kuat, tapi… aku hanya bias mengandalkan orang tuaku! Aku malu
Buuuuggg…!!! Beban yang ada di pundak Uno jatuh. Dengan sigap aku lari ke arahnya, aku tak tega melihat dia.
“ Biar kubantu “ kataku menawarkan diri dapa Uno
“ Terimakasih “ jawab Uno singkat
Ku angkat barang-barang yang terjatuh dari pundak Uno menuju toko sebrang jalan, Uno mengikutiku dan menunjukan di mana barang itu akan diturunkan. Setelah barang kuletakan di depan sebuah took jurangan yang sangat bengis dan congkak, pantas saja Uno ketakutan sewaktu barangnya jatuh, untungnya tidak ada yang rusak. Kali ini keberuntungan sedang memihak pada Uno.
Aku mengajak Uno istirahat sembari minum es kalapa muda, aku memesan duan porsi kepada bi Ijah langgananku. Aku mengajaknya bercerita sambil menemaniku menunggu Mila yang belum juga tiba.
“ Aku kangum padamu. Dalam keadaan mu yang seperti ini kau mampu… “ 
“ lanjutkan saja perkataanmu, aku tahu… kau pasti melihat tidak ada satu tangan kiriku kan??? “ Uno berkata sambil tersenyum.
Aku malu, hamper saja aku keceplosan. Aku diam. Pertemuanku dengan Uno membuat aku sadar arti kehidupan ini, banyak pelajaran yang aku petik darinya. Meski kali ini pertemuan pertamaku dengan seseorang yang memberiku pelajaran tentang arti hidup, tapi aku merasa cocok dengannya. Sejak kali itu juga aku berteman akrab dengannya. 
***
Dalam perjalananku menuju tempat tinggal Uno, aku melihat seekor anak kucing yang mengeong mencari induknya, aku kasihan melihat anak kucing itu, ku angkat dan kubawa menemani perjalananku menuju tempat Uno
***
“ Kau uno kan??? “ tanyaku
“ kok tahu ?“ jawab Uno singkat“ Aku sering mendengar orang-orang di sekitar terminal ini memanggilmu “
Tak terasa percakapan kita membawa Uno membuka diri untuk menceritakan keadaannya. Uno seharusnya tak pantas mendapat kehidupan seperti ini, sesungguhnya ia anak seorang pengusaha yang cukup terkenal di Kendari. Tapi nasib benar-benar tak sedang bersahabat. Ketika Uni kecil, ia menjadi anak yang sangat dimanja oleh kedua orang tuanya. Hingga suatu saat, ketika Uno pulang dari sekolah SDN 2 Kendari, ia m,erengek di hadapan ibunya. Ia tidak ingin lagi di jemput jika pulang sekolah, ia malu pada teman-temannya, ia selalu diganggu sebagai anak yang manja. Awalnya ibu uno tidak mau mengabuklan kemauannya, karna cukup berbahaya untuk anak seumuran Uno pada saat itu. Uno terus merengek dan merengek, akhirnaya ibunya pun mengabulkan permintaannya.
Hari pertama  Uno pulang tak jemput, ia berjalan menyusuri jalanan yang cukup ramai.
Aaaaaaaa…. Suara seorang anak menjerit kesakitan dan kaget. Ternyata sebuah mobil telah menabrak uno dan lari tak bertanggung jawab. Impiannya hancur ketika dokter memfonis agar tangan kirinya diamputasi. Dari sinilah berawal kisah sedih yang selalu menaungi Uno.
***
Meong… meong… seekor kicing betina mengeong, sejenak aku berpikir, apa yang ia inginkan…??? Tapi tiba-tiba anak kucing yang kubawa ikut mengeong mendengar kucing betina itu mengeong. Mmmmm mungkin kicing betina ini mencari anaknya, kuturunkan anak kucing itu di sebelahnya, dan ternyata mereka saling menyapa, yah mungkin anaknya… aku membatin. 
Kulanjutkan perjalanku yang belum juga sampai, aku tak sabar ingin bertemu dengan Uno dan bercerita panjang lebar, kebetulan hari ini tidak ada tugas yang menuntutku untuk cepat pulang dan mengerjakannya. Dalam perjalanku, aku tak henti-hentinya memikirkan Uno, dia begitu tegar menghadapi hidup ini, ya Tuhan, andai aku bisa seperti dia, pasti aku menjadi orang yang paling tegar di dunia ini, hehehehe…. Aku tertawa sendiri.
***
Amputasi yang ia jalani, mengubah seluruh hidupnya. Kasih sayang yang ia dapatkan dari kedua orang tuanya tak sama ketika ia masih sempurna. Penderitaan Uno bertambah ketika ibunya mengandung dan Uno akan segera memiliki adik. Uno merasakan perubahan 180 derajat pada ibunya. Kata-kata manja, bujukan, dan panggilan manis tak lagi terdengar dan hadir untuk Uno. Uno pun tak mengerti atas dasar apa kedua orang tuanya berubah sedemikian.
Hari-hari Uno lalui dengan sesak di dadanya yang tak paernah sanggup ia ungkapkan, meski pun akan ia ungkapkan pula pada siapa… meski ia hidup seatap dengan kedua orang tuanya, namun ia merasa hidup sendiri. Hingga Uno SMA kedua orang tuanya tidak juga berubah. “ Apa sebenarnya kesalahanku..? setega ini mama papa membiyarkan aku terguling dalam derita “ kalimat itulah yang melukiskan betapa tidak mengertinya Uno dengan ini semua. Seluruh kebutuhan hidup Uno tak pernah diperhatikan lagi, semuanya hanya terlimpah pada adiknya.
Atas dorongan penasaran dan ingin tahu, Uno pun memutuskan akan bertanya tentang semua yang telah terjadi. Dengan langkah kaki yang canggung, Uno mendekati Ibunya yang ketika itu sedang membuat susu untuk adiknya.
“ Ibu sedang apa? “
Tapi, tak ada jawaban yang ia harapkan.
“ Mengapa Ibu  tak seperti yang dulu kepadaku…??”
“ Diam kau…!!!!” Ibunya membentak.
Seketika Uno pun tersentak dengan jawaban ibunya yang sangat kasar. Hanya cacian yang ia dpatkan, bukan jawaban. “ Mungkin karna aku sekarang separti ini, cacat dab tak bisa dibanggakan, makanya mama dan papaku berpling dan mengacuhkanku. Kalimat itu yang ia ucapkan padaku yang menggambarkan kekecawaan kedua orang tuanya pada Uno.
Dan akhirnya Uno diusir olah orang tuanya, hanya karena ia mengambil uang 10.000 rupiah, itu pun karena ia sangat membutuhkan untuk iuran tiap minggu di sekolahnya. Sudah hampir dua bulan ia tidak membayarnya, sehingga ia selalu ditagih oleh bendahara, ia malu, oleh karena itu ia terpaksa menggambil uang yang ada dilemari ruang tengah. Itupun ia lakukan karena ibunya tak memberi uang.
“ Mengapa ibu tega mengusirku bu?”
“ Jangan panggil aku ibu lagi!!! Kau bukan anakku, kau itu hanya anak pungut yang aku ambil karena tidak ada ibumu tahu…!!!!
Uno pun tersentak kaget. Ternya dia bukan anak kandung orang tuanya. Kini ia hidup sebatang kara , ia pergi dari rumah karena ibunya yang punya hati. Ia berusaha mencari rejeki sendiri dengan menjadi kuli-kuli, karena hanya itulah yang bisa ia lakukan, sekolahnya pun harus terhenti.
***
Perjalanku pun terhenti ketika kau melihat sekumpulan orang berkerumun di sekitar rumah Uno. Aku berlari mencari tahu apa yang terjadi. Langkahku berkurang ketika aku melihat kain putih melambai di depan rumah Uno. Aku bertanya pada orang yang lewat di sampingku
Inalilahiwainailaihirojiun….
Sahabatku telah pergi, aku tak percaya ini terjadi, sekujur tubuhku melemas darahku membeku. Kutemui Uno yang terbaring dengan damai. Sekujur tubuhnya tertutup kain panjang di hadapan banyak orang. 
“ mengapa Tuhan begitu cepat mangambilmu “
Langit pun mendung turut berduka untuk kepergian seorang sahabat kasisi Tuhan untuk selama-lamanya.
“ Aku ingin bertemu orang tua kandungku, siapa sebenarnya mereka.”
Itu keinginan terakhir Uno yang sempat Ia katakan padaku.


Perintis, 18 Juni 2010

»»  Baca selanjutnya...

Tanah Pasundan di Negeri Anoa


      Memiliki kesempatan obserfasi di sebuah desa, perasan saya seperti kembali pulang kampong berkumpul bersama keluarga dan kerabat. Suasana dan perasaan mengajak saya untuk secepatnya terjun ke tanah dan udara di sana. Hari itu Rabu 15 Desember 2010. Saya memutuskan untuk melakukan perjalanan menuju sebuah desa yang masih terbilang alami, ditemani oleh sahabat saya. Pemandangan yang menghijau membuat hati dan pikiran menjadi damai. Seperti itu kata orang ketika menginjakkan kaki di desa itu. Sebuah desa yang terletak di sebelah utara pulau Sulawesi Tenggara ini berbeda dengan desa-desa lainnya di Sulawesi Tenggara. Awalnya saya mendengar ada orang Sunda di Sulawesi Tenggara ini terasa aneh karena, saya belum pernah mendengar sebelumnya ada sebuah desa yang keseluruhan berisi orang Sunda. Tetapi itu memang ada.  Di kecamatan Ranomeeto kelurahan Ranomeeto ini bermukin sekitar 350 kepala keluarga, yang hampir  keseluruhannya berbahasa sunda.
     Sebagai orang Sunda, saya merasa senang ternyata banyak saudara-saudara saya urang Bandung bermukim di Negeri Anoa ini. Desa ini bernama Sindangkasih, yang secara harfiah terdiri dari dua kata yakni “sindang” yang artinya singgah, dan “kasih” yang artinya memberi. Jadi sindangkasih sering diartikan dengan “singgah memberi”. Mengapa demikian? Mengapa tidak dikatakan demikian, pemandangan yang alami dan suasana kampung yang damai, membuat sesuatu yang pengap menjadi segar. Hal itulah yang diberikan oleh desa ini. Sebuah obat bagi jiwa-jiwa yang sesak, mungkin bisa dikatakan demikain. Satu-satunya trasmigrasi yang paling dekat dengan kota di Sulawesi Tenggara ini,  yakni Desa Sindangkasih, yang berbatas dengan desa Amoetosiama di sebelah selatan, desa Jati Bali sebelah timur, desa Lameuru sebelah utara, dan desa Rambu-rambu Jaya sebelah barat. Desa Sindangkasih ini memiliki jarak hanya 27 km dari pusat kota Kendari, jika menempuh perjalan hanya sekitar 30 menit. Di sepanjang perjalanan pun mata kita akan dimanjakan dengan pemandangan yang menghijau sejuk, rasa-rasanya seperti berada disebuah hutan lindung yang begitu menghijau.
     Untuk pertama kalinya kaki ini menginjak tanah Sindangkasih, sungguh merip dengan perkampungan di Ciamis, Rasa araraneh kata orang Sunda . Pohon-pohon yang masih rimbun, embun-embun pun masih betah menenpel di pohon tersebut. Udara segar mengusir segala kepenatan yang sempat mendarat dipundak selama dalam perjalan. Rasanya seperti berada di kampung halaman. “Selamat datang di kampung terang Sindangkasih” seperti itulah tertulis di pintu gerbang masuk desa ini. Awalnya saya bingung mengapa disebut kampung terang,  Apa mungkin kampung ini selalu terang? Atau hanya sebuah unggkapan?  Akhirnya automatik Beat hasil pinjaman saya dari teman pun berhasil memasuki desa Sindangkasih. Sungguh mempesona, udara mengipas padangan hingga mata ini tak bosan memandang. “Memang benar apa yang orang-orang katakan, kampung ini memang begitu alami”. Dalam hati saya pun membatin. 
     Bagi kebanyakan orang dari kampung mungkin melihat hal ini biasa-biasa saja. Namun yang menarik bagi saya desa ini berada sangat dekat dengan perkotaan. Yang tak kalah menariknya lagi, hampir 100% penghuni kampung ini menggunakan bahasa Sunda. Meski ada suku-suku lain yang berdomisili di desa ini, karena mereka menikah dengan masyarakat disini namun mereka berusaha untuk  bisa menguasai bahasa sunda tersebut. saya pun berpikir, luar biasa mereka masih mampu mempertahankan bahasa daerah, meski di daerah trasmigrasi yang kebanyakkan bahasa telah bercampur. mana mungkin orang Sunda bisa meninggalkan kampungnya sejauh ini. Seperti halnya ayah saya yang mau tidak mau harus meninggalakan kampung halaman demi mengemban tugasnya.
Setelah saya berhasil memasuki desa ini, kamudian saya langsung mencari sebuah alamat yang dikirim dari ibunda saya lewat sebuah pesan singkat. Kebetulan di kampung saya ada orang Sindangkasih yang menetap di kampong saya, secara tidak langsung dia tahu dimana letak  rumah Pak desa. Perlahan namun pasti, kendaraan yang saya tumpangi melaju menyusuri jalan yang berada di hadapan saya. pandangan kami terhenti pada sebuah balai desa ”Balai Pertemuan Sugema” seperti itulah tertulis di sana. Di sebrang jalan kami menemukan sebuah sekolah dasar tempat anak-anak setempat menimba ilmu dan pengetahuan. Kemudian perjalanan kami lanjutkan terus menyusuri jalan         tanpa ada rasa takut tersesat. Langit cerah hari itu menemani perjalan saya bersama sahabat. Saya menemui seseorang yang barada dipinggir jalan guna menanyakan alamat tujuan, yakni rumah Pak desa.
Setelah saya dapatkan peta menuju rumah Pak desa, kami pun bergegas menuju ke tempat tersebut. Dari kejauhan terlihat hamparan sawah yang menghijau berada di ujung perkampungan. Keindahan yang Tuhan berikan memang tak ada batasnya, mata ini benar-benar terperangkap olehnya, bibir pun sejenak membisu melihat semuanya. Penataan di desa Sindangkasih ini memang sangat rapih dan khas. Hanya berjalan kaki beberapa meter saja dari ujung kampung kita bisa menikmati indahnya persawahan. Namun terlebih dahulu kami memutuskan untuk menemui Pak desa sebelum melihat hal-hal menarik lainnya yang terkandung di desa ini. Kepala desa di kampung ini bernama Pak Kardiman. Sebuah rumah dengan tanaman coklat di halaman, sepertim itulah rumah Pak desa. 
Pria yang sudah dua priode menjabat sebagai kepela desa ini menerangkan bahwa, pada tahun 1968 jumlah penduduk Sindangkasih masih sekitar 50 kepala keluarga, namun sekarang jumlah penduduknya sudah mencapai 1.538 jiwa, yang terdiri dari 786 laki-laki dan 754 perempuan. Semua pertanyaan yang menggrayangi pikiran saya pun saya lontarkan kepada Pak Kardiman. “Perkampungan ini berawal dari para pendahulu kami yang menamai daerah kompleks orang Sunda ini dengan nama sindangkasih. Memang nama-nama di Sulawesi Tenggara ini kebanyakan berbau Jepang seperti, Ranomeeto, boro-boro, pomalaa dan lain sebagainya. Konon, leluhur penduduk asli orang Tolaki adalah orang Jepang” jelas Pak Kardiman. Kemudian hal yang membuat mereka bertrasmigrasi ke daerah ini adalah, pemerintah mereka mempercayakan sawah, kebun, dan ladang untuk di urus. Oleh karena itu, kebanyakan warga di sini berprofesi sebagai petani. Meski pun ada yang berprofesi sebagai juragan angkot atau pete-pete, tetapi hanya beberapa orang saja.
Kebiasan-kebiasan yang sering dilakukan di desa ini cukup menarik. Masyarakat di sini memiliki kegiatan yang bukan hanya bisa menghibur diri sendiri, tetapi bisa juga menghibur orang lain. Kebiasaan-kebiasan yang diambil dari budaya sunda itu seperti Degung. Degung ini merupakan budaya sunda yang masih di bawa trasmigrasi. Degung ini bersifat menghibur, hampir mirip dengan wayang orang yang merupakan budaya jawa. Perbedaannya terletak pada bahasa.  Jika wayang orang dimainkan dengan menggunakan bahasa jawa halus, degung ini menggunakan bahasa sunda sehari-hari sebab, bahasa sehari-hari lebih komunikatif disbanding bahasa halus. Selain kebudayaan dugung, masih ada kebiasan yang dilakukan di desa ini, yakni pencak silat dan adat pernikahan. Pencak silat merupakan ilmu beladiri asli milik Indonesia yang berasal dari Jawa Barat. Namun sayangnya saya tidak dapat langsung menyaksikan aksi mereka dalam berlatih. Pencak silat di desa ini kebanyakan diikuti oleh anak-anak yang masih palajar. Mereka biasa berlatih pada malam minggu. 
Kebiasaan-kebiasaan yang sering mereka lakukan tersebut, tidak hanya dimainkan di desanya, akan tetapi kebudayaan mereka cukup terkenal sampai desa-desa tetangga bahkan kota. Terkadang ada undangan yang meminta degung untuk hadir membawa hiburan di acara-acara, seperti pernikahan, pemilihan kepala desa, dan masih banyak lainnya. 
Adat pernikahan sunda pun masih melekat pada masyarat Sindangkasih ini, walau tidak secara keseluruhan dilakukan. Adapun adat pernikahan sunda yang sering dilakukan seperti, nuendeun omong (orang tua pria bermaksud mempersunting seorang gadis). Lamaran (melamar), tunangan, (tunangan ini dilakukan dengan bertukar tali pinggang berwarna pelangi yang sering desebut buebuer tamueh), seserahan (tujuh hari sebelum pernikahan calon mempelai lelaki membawa pakaian dan barang-barang dapur). Upacara pernikahan terdiri dari, menjemput mempelai pria, ngabageakeun (memberi kalung bunga melati), akad nikah, sungkeman (meminta maaf kepada kedua orang tua), saweran,(kedua mempelai disiram dengan beras kuning yang dicampur dengan uang koin). Nincak endog (pengantin pria menginjak telur sampai pecah, kemudian pengantin wanita memcuci kakinya) hal ini dilakukan agar isrti patuh terhadap suami.  Rangkaian adat pernikahan sunda itulah yang masih dilakukan oleh masyarakat Sindangkasih. Sementara rangkaian yang lain banyak yang ditinggalkan, meski pun demikain tidak mengurangi kesakralan ritual tersebut. Adat pernikahan tersebut dilakukan jika kedua mempelai sama-sama latar belakang Sunda. Jika salah satu mempelai bukan berasal dari golongan sunda, biasanya adat ritual tersebut tidak digunakan, tetapi menggunakan adat yang sesuai dengan suku mereka, atau pun sesuai kesepakatan keluarga. Seperti itilah Pak Kardiman menjelaskan panjang lebar.
Tidak terasa waktu begitu cepat berlalu, sebelum berpamitan ayah empat orang anak ini pun menyampaikan harapan untuk kemajuan desanya, yakni fasilitas pendidikan dapat diperbarui lagi. Sebab, fasilitas pendidikan di desa Sindangkasih ini masih terbilang kurang diperhatiakan. Akhirnya tiba saatnya kaki ini melangkang meninggalkan desa nan ramah seramah sunyum yang terkurung di setiap masyarakatnya.(am)

»»  Baca selanjutnya...