Kamis, 30 Juni 2011

Hingga Akhir Waktu


     Rintik hujan kembali menetes di hari ke lima minggu ke tiga di bulan Juni 2010. Alunan suara angin yang bernyanyi menyapu wajahku, kini tak hadir lagi. Bintang yang menari, bernyanyi memuji indah malam kini tak hadir lagi. Sinar rembulan yang sumringah menyambut malam,  kini terkulum di gumpalan awan yang hitam. 
Seperti biasa, mala mini kulalui dengan kesedihan yang belum juga luntur di wajahku. Hati ini seakan mati, tidak dapat bernyanyi walau hanya sesaat. Hari-hari kulalui tanpa orang yang berarti, semua mati ditelan bumi. Kebahagiaanku sirna, terbawa olehnya kekasih hati yang kini berada di sisi-Nya. Sungguh tak bisa kumusnahkan semua kepahitan yang melandaku.
Pagi-pagi buta, kubangun dari mimpi buruk yang selalu menghantuiku di setiap malamku. Aku tak tahan lagi, ingin kutumpahkan seluruh kesedihan yang sekarang bersarang di jiwaku. Aku melangkah meninggalkan rumah tanpa sepengetahuan mama. Aku hanya ingin bertemu sahabatku. Menumpahkan segala kepedihanku dan berharap semua cepat berlalu. Dalam perjalananku menuju kediaman Boni sahabatku, ingatan itu selalu menghampiri dan mengiringi langkahku. Aku tak bisa terpuruk seperti ini selamanya. Wajahnya yang selalu kurindukan menari di kelopak mataku, kenangan yang selalu kita buat hadir bagai pepohonan yang menaungiku. 
“Tidaak…!!!, Tuhan tolonglah hambamu”

    Setelah sampai di halama rumah Boni. Aku bergegas menuju pintu rumahnya, lama aku tidak berjumpa dengannya. Karena keterpurukan sehingga aku tak pernah lagi mengunjunginya. Kuketuk pintu rumah Boni, berharap ia yang membukakan pintu. Lima menit berdiri menunggu pintu rumah Boni terbuka, dan akhirnya sosok yang begitu ingin kutemui kini ada di hadapanku. Wajah cantik dan manis seperti yang dulu, ramah dan lucu. Kupeluk Boni erat-erat tanpa kuziinkan angin lewat di sela kami. Air mata ini tak dapat terbendung lagi.
“Boni, Aku nggak bisa begini terus, aku tersiksa. Aku ngga bisa hidup tanpa dia di sisiku.”
“Masuklah dulu, kita bicarakan di dalam.”
Kupandangi sekeliling rumah Boni yang lama tak kukunjungi. Mataku terpana pada sebuah album yang tersimpan begitu rapi di lemari ruang tengah. Boni beranjak mengambilkan aku segelas air putih untuk menenangkan fikiranku. Kuangkat, kubuka album ungu yang bertuliskan “lovely” halaman pertama terpampang wajah imut Boni dan senyum riangku di sana. Aku tersenyum, putih abu-abu menghiasi pakaian yang kita kenakan. Kubuka lembar berikutnya, tersentak aku kaget. Wajahnya ada di sana, di antara aku dan Boni serta teman yang lain. Kembali mengalir air mata ini melihat wajah kekasihku yang telah pergi. 
“Cha, ngapain kamu?” Boni menegurku.
Kusapu air mata ini, tetapi Boni lebih awal melihat lagi air mataku.
“Cha, ceritakan…? Apa sebenarnya yang terjadi. Mengapa kamu menangis?”
“Hal inilah yang menjadi tujuanku datang kemari Boni, aku tak tahu ke mana harus mengadu, hanya kamu yang mengerti aku, Bon…”
Kudekap foto yang terlukis wajahnya, kubiarkan kepedihan ini mengalir bersama air mataku.
“Ceritakanlah! Apa sebenarnya yang terjadi denganmu” mengapa kamu dekap terus foto itu? Misteri apa yang ada di dalamnya?”

*** 
Kuawali ceritaku denga sebuah perkataan Fhy kekasihku yang masih sempat kuingat.
“Kau begitu indah, bagai taman yag sesaat lagi akan kutemui. Aku tak ingin ini terjadi, tapi inilah suratan ilahi.”
Saat ia katakan itu, aku berada di sebuah pantai bersamanya. Kami pergi ke pantai karena keinginanku. Aku pun tak mengerti mengapa jiwaku seakan meronta untuk mengatakan ini pada Fhy. Ia tak ingin melihatku kecewa. Akhirnya kami pun pergi dengan suasana damai menaungi jiwa-jiwa kami. 
Angin yang bertiup menyapu bibir pantai. Mengundangku mendekatinya. Kulangkahkan kaki ini perlahan, kutatap wajah langit yang begitu damai kurasakan. Fhy menyusulku dan tegak di sampingku.
“Rasakan dingin yang bertiup ini!” ia memintaku mematuhi kemauannya. Perlahan kurasakan kedamaian yang dibawa angin menuju dermaga. Tapi, kudengar Fhy merintih perlahan.
“Fhy, mengapa? Sakit??”
Jawabannya singkat dan dingin “Tidak!”

*** 
Tiba-tiba Boni tersedak dan batuk, aku berpikir mengapa mendengar ceritaku ia begitu…
“Boni, kamu mengapa?”
“Oh, tidak lanjutkan dulu biar aku mendengarkannya”.
Petikan gitar yang dimainkan Fhy membuatku semakin damai, kami bernyanyi tanpa sedikit pun tersirat kesedihan di wajah aku dan Fhy. Kupandangi dalam-dalam wajah Fhy, dengan senyuman yang tak pernah terkulum waktu.
Dia begitu bahagia, tak ingin aku melihat  ini hilang dari wajah Fhy. Ya, karena memang dia sosok lelaku yang begitu jarang menampakkan kebahagiaannya. Dia pendiam, namun begitu perhatian. Tanpa disangka hujan turun, menggantikan siang yang begitu cerah. Aku dan Fhy berteduh di sebuah gubug-gubug di pinggir pantai yang sengaja dibuat untuk disewakan. Hujan begitu deras, hingga terpaksa aku dan Fhy menunggu lama di gubug itu. Kulihat pucat wajah Fhy, aku panik.
“Fhy, kamu sakit ya? Mengapa wajahmu pucat???”
“Tidak, hanya dingin saja kok”.
Dia tak pernah mau menceritakan apa yang sebenarnya yang ia rasakan. Aku memberikan sweterku untuk menutup tubuhnya yang menggigil kedinginan. Perlahan ia merebahkan tubuhnya dan menyandarkan kepalanya di pangkuanku.
“Cha, Kau begitu indah, bagai taman yag sesaat lagi akan kutemui. Aku tak ingin ini terjadi, tapi inilah suratan ilahi.”
“Apa maksudmu?” Aku bingung mengapa dia menyamakan aku dengan taman? Fhy memintaku menyampaikan sebuah lagu yang sangat ia sukai. Aku melihat permohonan di wajah Fhy. Akhirnya aku bernyanyi. Lahu sempurna.
“Kau adalah darahku
Kau adalah jantungku
Kau adalah hidupku lengkapi diriku, oh sayangku 
Kau begitu..
Sempurna…”
Kulihat Fhy terlelap dalam tidurnya. Aku tak tega untuk membangunkan dirinya dari tidurnya. Keputusan untuk menunggu Fhy bangun sembari menunggu hujan reda. Sepuluh menit berlalu, hujan sudah tak jatuh lagi. Awan kembali tampak, namun tak secerah semula. Perlahan kubangunkan Fhy dari tidurnya namun ia tetap diam dan tidak bergerak. Badannya dingin dan beku. Kupanggil-panggil namanya, kucoba bangunkan dia dengan segenap usahaku namun ia tetap beku.
“Tuhan… inikah akhir dari segalanya? Fhy telah pergi tanpa sebab yang pasti. Fhy, jangan tinggalkan aku, ke mana janjimu untuk kita hidup bersama? Fhy bangun, bangun Fhy…!”…
Aku meronta, aku tak percaya. Mengapa Fhy pergi begitu cepat? Mengapa ia pergi di saat seperti ini? Semua pertanyaan menghukumku.

*** 
Kudekap Boni, dengan segala kelemahanku. Aku begitu lemah, sudah dua bulan berlalu dari kepergian Fhy, namun aku masih terpuruk di dalamnya.
“Cha, udahlah…”
“Boni, aku tak mengerti mengapa Fhy perg tanpa sebab yang pasti, mengapa dia pergi tiba-tiba?”
“Ada hal yang tidak engkau tahu”.
“Katakan, apa itu Bon??”
“sebelumnya maaf Cha, karena tidak dari awal aku mengatakan ini padamu. Fhy sebenarnya telah lama mengidap penyakit kanker otak.”
“Apa!!! Kau tega Bon, mengapa tidak kauceritakan padaku dari dulu padaku?”
“Sabar Cha, ini permintaan Fhy. Ia tak ingin kautahu tentang keadaannya. Ia tidak ingin kau sedih mendengar ceritanya. Ia tak ingin merusak kebahagiaanmu Cha… ia menitipkan ini padaku. Sebuah cincin yang telah lama ia ingin berikan padamu, tetapi ia ragu. Ia memintaku memberikan ini padamu setelah ia pergi. Karena ia tahu, waktunya tidak akan lama lagi di dunia ini.”
Hatiku hancur kembali. Aku pamit pada Boni, pergi menuju makam Fhy yang selalu kukunjungi. Dengan sebuah cincin yang selalu kugenggam, mengantarkan aku di sebuah pemakaman yang sudah tidak begitu asing. Aku berlutut di batu nisan dengan kepedihan yang sangat berat kurasakan. Air mata ini tak boleh jatuh, “Aku tak mau menampakkan ini di hadapanmu Fhy. Meski engkau telah pergi namun engkau selalu di hatiku.”
Kupakai cincin pemberian Fhy di jari manisku.
“Fhy, nantikan aku di sana. Aku psati akan bersamamu, meski sekarang kita berada di alam yang berbeda.”
Aku beranjak dari makam Fhy dengan sangat berat. Namun aku harus tegar menjalani semua ini. Perjalanan pulang, tak kurasakan apa-apa. Pikiranku terbang bersama kenangan dan bayangan Fhy yang selalu menghantui. Pandanganku berubah, aku memandang dengan samar-samar dengan motor yang kukendarai. Semakin lama aku merasa ada suara yang memanggilku dan, 
Braakk…!!! Sebuah mobil menabrakku.
Aku tak sadarkan diri, tetapi aku melihat kehadiran Fhy di hadapanku. Dia ulurkan tangan kanannya padaku. Kuterima uluran tangan Fhy dan kugenggam erat.
“Fhy, bawa aku bersamamu.”


Perintis, 26 Juni 2010 


1 komentar:

Eka Mustika mengatakan...

keren...keren...keren... ^_^