Jumat, 24 Juni 2011

Si Uno


   Rintik hujan kembali menetes di hari ke-5 minggu ke-3 di bulan juni 2010.alunan suara angin yang beryanyi menyapu wajahku, kini tak hadir lagi. Bintang yang menari memuji indah malam kini tak hadir lagi. Sinar rembulan yang sumringah menyambut malam, kini terkulum di gumpalan awan yang hitam.
Uuuh… mata ini lelah sekali, memandang hari yang penuh misteri. Ingin kubernyanyi tuk hilangkan sejenak lelah yang mengalun di hari-hariku. Keesokan harinya, kuayunklan langkah menuju sebuah gubug yang mencoba berdiri di atas tanah yang berserakan sampah, sungguh tak layak. Lingkungan yang kumuh buatku iba dengan pemilik rumah mungil itu. Atap yang membatas pandangannya, ia ambil dari seng-seng bekas yang ia temukan di tempat pembuangan. Hanya terdapat satu ruangan di dalamnya, di situlah ia membaringkan segala lelah, di situ pula ia tanamkan kekuatan hidupnya.
Aku ingin mengunjungi si Uno yang baru saja kukenal si terminal. Dengan segala kekuatan yang ia miliki ia mencoba mengais rejeki, walau dengan keadaan yang memprihatinkan. akibat Kecelakaan maut itulaj ia harus rela kehilangan tangan kirinya.  dengan satu tangan itupun ia mencoba tegar menghadapi hidup. Perjalananku cukup melelahkan, tempat tinggal Uno lumayan jauh. Sepanjang perjalan aku teringat kisah hidupnya.
***
Saat aku menunggu mila sahabatku di terminal, aku terkesima melihat seseorang dengan tegarnya mencoba menggendong beban yang sepertinya tak seharusnya ia lakukan. Menjadi kuli-kuli pengangkat barang yang tak pernah memiliki gaji, hanya keihlasan yang ia sering dapatkan, itulah pekerjaannya. Cuaca hari itu cukup panas, tak ada satu pun wan yang menghalanh sinar matahari jatuh ke bumi.
Aku melihat si Uno terpongoh-pongoh dengan beban yang ia pikul di pundaknya. Mata ini tak pernah beranjak dari arahnya, aku merasa malu dengan keadaanku yang lebih sempurna darinya, memiliki fisik yang lengkap dan kuat, tapi… aku hanya bias mengandalkan orang tuaku! Aku malu
Buuuuggg…!!! Beban yang ada di pundak Uno jatuh. Dengan sigap aku lari ke arahnya, aku tak tega melihat dia.
“ Biar kubantu “ kataku menawarkan diri dapa Uno
“ Terimakasih “ jawab Uno singkat
Ku angkat barang-barang yang terjatuh dari pundak Uno menuju toko sebrang jalan, Uno mengikutiku dan menunjukan di mana barang itu akan diturunkan. Setelah barang kuletakan di depan sebuah took jurangan yang sangat bengis dan congkak, pantas saja Uno ketakutan sewaktu barangnya jatuh, untungnya tidak ada yang rusak. Kali ini keberuntungan sedang memihak pada Uno.
Aku mengajak Uno istirahat sembari minum es kalapa muda, aku memesan duan porsi kepada bi Ijah langgananku. Aku mengajaknya bercerita sambil menemaniku menunggu Mila yang belum juga tiba.
“ Aku kangum padamu. Dalam keadaan mu yang seperti ini kau mampu… “ 
“ lanjutkan saja perkataanmu, aku tahu… kau pasti melihat tidak ada satu tangan kiriku kan??? “ Uno berkata sambil tersenyum.
Aku malu, hamper saja aku keceplosan. Aku diam. Pertemuanku dengan Uno membuat aku sadar arti kehidupan ini, banyak pelajaran yang aku petik darinya. Meski kali ini pertemuan pertamaku dengan seseorang yang memberiku pelajaran tentang arti hidup, tapi aku merasa cocok dengannya. Sejak kali itu juga aku berteman akrab dengannya. 
***
Dalam perjalananku menuju tempat tinggal Uno, aku melihat seekor anak kucing yang mengeong mencari induknya, aku kasihan melihat anak kucing itu, ku angkat dan kubawa menemani perjalananku menuju tempat Uno
***
“ Kau uno kan??? “ tanyaku
“ kok tahu ?“ jawab Uno singkat“ Aku sering mendengar orang-orang di sekitar terminal ini memanggilmu “
Tak terasa percakapan kita membawa Uno membuka diri untuk menceritakan keadaannya. Uno seharusnya tak pantas mendapat kehidupan seperti ini, sesungguhnya ia anak seorang pengusaha yang cukup terkenal di Kendari. Tapi nasib benar-benar tak sedang bersahabat. Ketika Uni kecil, ia menjadi anak yang sangat dimanja oleh kedua orang tuanya. Hingga suatu saat, ketika Uno pulang dari sekolah SDN 2 Kendari, ia m,erengek di hadapan ibunya. Ia tidak ingin lagi di jemput jika pulang sekolah, ia malu pada teman-temannya, ia selalu diganggu sebagai anak yang manja. Awalnya ibu uno tidak mau mengabuklan kemauannya, karna cukup berbahaya untuk anak seumuran Uno pada saat itu. Uno terus merengek dan merengek, akhirnaya ibunya pun mengabulkan permintaannya.
Hari pertama  Uno pulang tak jemput, ia berjalan menyusuri jalanan yang cukup ramai.
Aaaaaaaa…. Suara seorang anak menjerit kesakitan dan kaget. Ternyata sebuah mobil telah menabrak uno dan lari tak bertanggung jawab. Impiannya hancur ketika dokter memfonis agar tangan kirinya diamputasi. Dari sinilah berawal kisah sedih yang selalu menaungi Uno.
***
Meong… meong… seekor kicing betina mengeong, sejenak aku berpikir, apa yang ia inginkan…??? Tapi tiba-tiba anak kucing yang kubawa ikut mengeong mendengar kucing betina itu mengeong. Mmmmm mungkin kicing betina ini mencari anaknya, kuturunkan anak kucing itu di sebelahnya, dan ternyata mereka saling menyapa, yah mungkin anaknya… aku membatin. 
Kulanjutkan perjalanku yang belum juga sampai, aku tak sabar ingin bertemu dengan Uno dan bercerita panjang lebar, kebetulan hari ini tidak ada tugas yang menuntutku untuk cepat pulang dan mengerjakannya. Dalam perjalanku, aku tak henti-hentinya memikirkan Uno, dia begitu tegar menghadapi hidup ini, ya Tuhan, andai aku bisa seperti dia, pasti aku menjadi orang yang paling tegar di dunia ini, hehehehe…. Aku tertawa sendiri.
***
Amputasi yang ia jalani, mengubah seluruh hidupnya. Kasih sayang yang ia dapatkan dari kedua orang tuanya tak sama ketika ia masih sempurna. Penderitaan Uno bertambah ketika ibunya mengandung dan Uno akan segera memiliki adik. Uno merasakan perubahan 180 derajat pada ibunya. Kata-kata manja, bujukan, dan panggilan manis tak lagi terdengar dan hadir untuk Uno. Uno pun tak mengerti atas dasar apa kedua orang tuanya berubah sedemikian.
Hari-hari Uno lalui dengan sesak di dadanya yang tak paernah sanggup ia ungkapkan, meski pun akan ia ungkapkan pula pada siapa… meski ia hidup seatap dengan kedua orang tuanya, namun ia merasa hidup sendiri. Hingga Uno SMA kedua orang tuanya tidak juga berubah. “ Apa sebenarnya kesalahanku..? setega ini mama papa membiyarkan aku terguling dalam derita “ kalimat itulah yang melukiskan betapa tidak mengertinya Uno dengan ini semua. Seluruh kebutuhan hidup Uno tak pernah diperhatikan lagi, semuanya hanya terlimpah pada adiknya.
Atas dorongan penasaran dan ingin tahu, Uno pun memutuskan akan bertanya tentang semua yang telah terjadi. Dengan langkah kaki yang canggung, Uno mendekati Ibunya yang ketika itu sedang membuat susu untuk adiknya.
“ Ibu sedang apa? “
Tapi, tak ada jawaban yang ia harapkan.
“ Mengapa Ibu  tak seperti yang dulu kepadaku…??”
“ Diam kau…!!!!” Ibunya membentak.
Seketika Uno pun tersentak dengan jawaban ibunya yang sangat kasar. Hanya cacian yang ia dpatkan, bukan jawaban. “ Mungkin karna aku sekarang separti ini, cacat dab tak bisa dibanggakan, makanya mama dan papaku berpling dan mengacuhkanku. Kalimat itu yang ia ucapkan padaku yang menggambarkan kekecawaan kedua orang tuanya pada Uno.
Dan akhirnya Uno diusir olah orang tuanya, hanya karena ia mengambil uang 10.000 rupiah, itu pun karena ia sangat membutuhkan untuk iuran tiap minggu di sekolahnya. Sudah hampir dua bulan ia tidak membayarnya, sehingga ia selalu ditagih oleh bendahara, ia malu, oleh karena itu ia terpaksa menggambil uang yang ada dilemari ruang tengah. Itupun ia lakukan karena ibunya tak memberi uang.
“ Mengapa ibu tega mengusirku bu?”
“ Jangan panggil aku ibu lagi!!! Kau bukan anakku, kau itu hanya anak pungut yang aku ambil karena tidak ada ibumu tahu…!!!!
Uno pun tersentak kaget. Ternya dia bukan anak kandung orang tuanya. Kini ia hidup sebatang kara , ia pergi dari rumah karena ibunya yang punya hati. Ia berusaha mencari rejeki sendiri dengan menjadi kuli-kuli, karena hanya itulah yang bisa ia lakukan, sekolahnya pun harus terhenti.
***
Perjalanku pun terhenti ketika kau melihat sekumpulan orang berkerumun di sekitar rumah Uno. Aku berlari mencari tahu apa yang terjadi. Langkahku berkurang ketika aku melihat kain putih melambai di depan rumah Uno. Aku bertanya pada orang yang lewat di sampingku
Inalilahiwainailaihirojiun….
Sahabatku telah pergi, aku tak percaya ini terjadi, sekujur tubuhku melemas darahku membeku. Kutemui Uno yang terbaring dengan damai. Sekujur tubuhnya tertutup kain panjang di hadapan banyak orang. 
“ mengapa Tuhan begitu cepat mangambilmu “
Langit pun mendung turut berduka untuk kepergian seorang sahabat kasisi Tuhan untuk selama-lamanya.
“ Aku ingin bertemu orang tua kandungku, siapa sebenarnya mereka.”
Itu keinginan terakhir Uno yang sempat Ia katakan padaku.


Perintis, 18 Juni 2010

0 komentar: